Arumpone
Bone
Menggantikan ibunya sebagai Datu
Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka sebagai hadiah
membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan
Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.[2]
Menyatakan penurunan paksa tahta
paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan
gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3 November 1672.[2]
Andaya mengarahkan perhatiannya
kepada Arung Palakka sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai
sekarang menguasai kehidupan orang Bugis atau Makassar. Dari sanalah dia
mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya
memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai
salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban persoalan itu, menuru
Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah
bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Gowa dan VOC, yang memuncak dalam Perang
Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara.
Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang meliputi
siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan
pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang
dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui
tindakan orang itu sendiri).
Tanpa memahami ketiga ciri kultural
yang memegang peranan sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu,
akan keruh selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum
sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan
nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang
lebih baik dan adil dipakai untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting di
abad itu, ketimbang standar masa kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan
penting dalam polemik yang sampai kini masih berkembang di antara masyarakat
Sulawesi Selatan tentang Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan
pengkhianat dan penindas.
Berlatar belakang seperti itu,
Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya
masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad
ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan internasional yang memuncak
menjadi ketegangan antara Gowa, Bone, dan VOC yang hadir
di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi
latar kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun
1635 di Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta
Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Kerajaan Gowa dan berhasil menaklukkannya. Sejak
berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana
Gowa.
Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh
penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di
bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang mengesankan dalam
olah otak maupun olahraga.
Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa
dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya
selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya
menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus
menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas
perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone,
Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis
pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng
Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan
melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari
istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang
sudah diderita oleh rakyat Bone dan Soppeng karena junjungannya dipaksa
melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi
derita kolektif orang Bone dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka.
Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka adalah salah satu
perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Gowa
yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi Selatan
bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya
terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, buat
perhitungan, dan merdekakan negeri Bone.
Setelah menunggu lima tahun,
keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka
yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang
mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan
pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Gowa
yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
Andaya memberi ruang luas buat
mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya
psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan
VOC memimpin ekspedisi ke Kerajaan Gowa.
Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela
berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma kemenangan yang
bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat karena
perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara
bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari beban berat bahwa
siri’-nya telah mati.
Hanya dengan memulihkan siri’-nya
dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin
lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup
tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan
siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi
psikologis itulah yang mendorong keduanya "mentafsir ulang" perintah
VOC.
Hal lain yang menarik adalah kajian
Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat
Bugis, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan
Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan Makassar dan Bugis sebagai
kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada
kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu
siri’, pacce, dan sare.
Ini sangat berlainan dengan tulisan
para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada
sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka cenderung menggambarkan
kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja dan ningrat Makassar sebagai
pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi
Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap
mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar, Arung
Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", namun
bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan
dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan yang
berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak
saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC yang telah memulihkan
hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia
rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC
menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong
yang membantu perlawanan Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung
Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga
mampu menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan
membuat pemerintah pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan suara
wakilnya di Fort Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka
semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30
tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran
dan pengikutnya yang tak setuju dikarenakan politik kotor yang
dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran dan pengikutnya lari dan mencari
rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah
yang menurut Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi
Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain pribadinya sebagai pemimpin yang
sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi sebagaimana tersebut
dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
0 komentar:
Posting Komentar