1. Chairil Anwar
Nama
Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah
Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada
kematian.[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya
di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena
dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio
Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir
hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia
dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.[6][7] Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah
Wiraredja pada 6 Agustus 1946.
Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada
akhir tahun 1948.
- Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain
- Puisi: Bunga dan Tembok[5]
- Puisi: Peringatan
- Puisi: Kesaksian [1]
3.
Acep Zamzam Noor
·
Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
·
Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
·
The Poets Chant (antologi, 1995)
·
Aseano (antologi, 1995)
·
A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
·
Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
·
Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
·
Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
·
Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
·
Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)
·
Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)
4. Ahmadun
Yosi Herfanda
Karya-karya
Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit
di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei),
antologi puisi Secreets Need Words (Ohio University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library
of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia
and The Malay World (London, Inggris, November 1998), The Poets’ Chant
(The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa
kali sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara
Jerman" (Deutsche Welle).
Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu
penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda)
dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia
meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal
Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Beberapa buku karya Ahmadun
yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain:
- Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
- Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),
- Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986),
- Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990),
- Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997),
- Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997),
- Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997),
- Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),
- Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004),
- Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),
- The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),
- Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006),
- Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).
- Yang Muda yang Membaca (buku esai panjang, Kemenegpora RI, 2009).
- Sajadah Kata (kumpulan puisi, Pustaka Littera, 2013).
0 komentar:
Posting Komentar