1303015535892326302 .Tulisan ini
merupakan tulisan bersambung tentang Riwayat Raja – raja Bone. Bone merupakan
salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukota
Kabupaten ini, Watampone memiliki luas wilayah 4.559 km² dan secara
administratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten
ini terletak 174 km ke arah timur Kotamadya Makassar, berada pada posisi 4°13′-
5°6′
LS dan antara 119°42′-120°30′
BT, pada sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng, sebelah
timur dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Maros, Pangkep dan
Barru dan sebelah selatannya dengan Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Di bekas wilayah
kabupaten inilah pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang merdeka dan
berdaulat, yaitu Kerajaan Bone. Rajanya digelari Arung Mangkaue ri Bone, yang
artinya Raja yang berkedudukan di Bone. Kerajaan Bone berdiri sekitar Abad XIV dengan raja pertamanya, Manurunge’ ri Matajang.
Rajanya yang terkenal diantara Arung Palakka Petta Malampe Gemmekna, yang oleh
Belanda digelari “Radja Palacca, Koningh der Bougis”. Sebagian besar
penduduknya berpenutur Bahasa Bugis, biasa juga disebut To Ugi Bone (orang
Bugis Bone). Salah seorang putera terbaik Bone pernah menjabat sebagai Wakil
Presiden RI, beliau tak lain adalah HM Jusuf Kalla.
* * *
Hampir semua
kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau Patturioloang
(cerita tentang Orang – orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa raja pertama
kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah Tumanurung (bahasa Makassar) atau TomanurungE (‘tu’
atau ‘to’ berasal dari kata ‘tau’ berarti orang sedang ‘manurung’ berarti yang turun dari
langit atau kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, istrinya yang
kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan dinasti
kerajaan juga biasa disebut TumanurungE
(Makassar : Tumanurung bainea, Bugis : Tomanurung makkunrai). (Makkulau, 2005).
Kronik Bone memulai cerita masa awal kerajaannya tepat
diakhir cerita I La Galigo
dimana dijelaskan masa sebelum datangnya Tomanurung
sebagai masa kekacauan yang berlangsung selama tujuh pariyama (generasi). Menurut
hitungan lama, satu pariyama sama dengan masa 100 tahun. Jadi kalau mengacu
pada perhitungan ini maka keturunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700
tahun sebelum kemunculan Tomanurung. Bone dan negeri - negeri sekitarnya
mengalami kekacauan yang luar biasa. Dalam Lontara’ Akkarungeng ri Bone, diketahui
bahwa setelah berakhir keturunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri -
negeri diwarnai dengan kekacauan karena tidak adanya Arung (raja) yang mengatur
tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang antar kelompok anang
(perkauman) yang berkepanjangan. Dalam istilah lokal, hal ini disebut saling
memakan bagaikan ikan (bugis : sianre bale). Kelompok -
kelompok kaum saling bermusuhan dan berebut kekuasaan dimana yang kuat
menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. (Makkulau,
2007).
Nanti setelah TomanurungE,
menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan
rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti
dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu
(Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Kemunculan
Arumpone (Raja Bone), “ManurungE ri Matajang Mata SilompoE”, ditandai dengan
gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa
bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin
puting beliung yang sangat keras. Setelah keadaan itu reda, tiba - tiba di
tengah padang luas muncul orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena
tidak diketahui asal usul kedatangannya, maka orang menyebutnya ’Tomanurung’.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai
Tomanurung adalah untuk mengangkatnya menjadi Arung (raja) agar ada yang bisa
memimpin mereka.
Orang banyak
berkata, ”Kami semua datang ke sini
untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah
menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu
adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami
engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang
disangka To Manurung menjawab, ”Bagus
sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau
angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau.
Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan
orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak
berkata, ”Bagaimana caranya kami
mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang
disangka To Manurung menjawab, ”Kalau
benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat –
matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak
berkata, ”Kami benar-benar mau
mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan
jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang
disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang
banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada
dalam kota Watampone sekarang).
Di tempat yang dituju, nampaklah Tomanurung yang
sesungguhnya duduk di atas batu besar dengan pakaian serba kuning dengan
ditemani tiga orang yaitu : satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang
yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.
Tomanurung berkata, ”Engkau datang Matowa ?”
MatowaE menjawab, ”Iye,
Puang”.
Barulah orang banyak mengetahui bahwa yang disangkanya
Tomanurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak
mendekati Tomanurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah
orang banyak kepada Tomanurung : ”Kami
semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau
mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi
Arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu
kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya.
Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
Tomanurung menjawab : ”Apakah engkau tidak membagi hati
dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara Tomanurung dengan
orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa
(rumah). Tomanurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak
menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat
banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata
SilompoE. Arumpone pertama ini kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang
bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra
Wanua, beberapa riwayat menyebutnya ada lima bersaudara. Yang pertama kali
dilakukan Manurunge ri Matajang adalah mappolo leteng (menetapkan hak - hak
kepemilikan orang banyak), meredakan segala bentuk kekerasan dan melahirkan
hukum adat (bicara) serta menentukan bendera kerajaan yang dinamai WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone,
dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummase’ untuk
menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara
kita”. Beberapa saat setelah mengucapkan kalimat perpisahan itu, dalam Lontaraq
Akkarungeng ri Bone disebutkan munculnya kilat dan guntur saling
menyambar diakhiri dengan menghilangnya (mallajang) ManurungE ri
Matajang dan isterinya, ManurungE ri Toro dari tempat duduknya. Salenrang dan
payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran dan
takjub. (***)
0 komentar:
Posting Komentar