· I. PROLOG. Kita mengenal kepenyairan
Rendra mengerikan, mencekam. Keras. Sajaknya kebanyakan terlihat selalu memprotes apa yang meresahkan kita. Setidaknya, membenarkan apa yang salah.
Tentang ketidakadilan, kesemena-menaan yang berteriak dalam sajak. Menjijikkan itu! Meski sebelumnya, kau mengelak dari sana: menulis tentang anggur dan rembulan. Dan sajakmu telah bersungguh-sungguh
bermetamorfosis. Bersyukurlah karena Negeri Paman Sam mendidikmu. Ah, Rendra, melantanglah lagi kepada yang belum bersetubuh dengan Blues Untuk Bonnie. Buat
apa kau teriak-teriak bodoh, berdemonstrasi tersirat yang konyol; kalau kumpulan sajak liarmu masih
sedemikian bertumpuk. Bodohlah mereka yang kau catat. Ah, bukan. Bodohlah mereka yang apatis
terhadap beragam persoalan di Negerinya. Rendra, kau sastrawan yang baik, dan
lengkap: berpuisi sekaligus mempuisikan. Meski diksi puisimu konvensional, tak
menyuling kata terlalu puitis. Tapi
totalitas bertutur tentang protes sosial yang
mendalam, yang berisik didengar. Lebih dari sekedar mengancam: biar
tuli sekalian. Rendra,
izinkanlah saya untuk menghisap lisongmu.
·
II. DIALOG. Bukan monolog. Spada! Kita masuk kepada konten sajak. Apa yang termakna pada tiap-tiap baris kata. Sajak protes ini mungkin benda mati, tapi tak menutup kemungkinan dapat bernafas: dialogis. Ada subjek-objek yang bercakap-cakap walau diam. Ada kata-kata yang memberontak meski pantang berlarian. Baiklah, nyanyikan.
Bait pertama: introduksi. Sajak Sebatang Lisong bicara tentang situasi: keadaan Negara kita
yang tidak sebagaimana mestinya. Tapi belum diperjelas sampai palungnya. Hanya
sebatas pengantar yang terdiorama singkat. Ada tiga kata kerja tanpa subjek yang
disebut secara eksplisit: menghisap,
melihat dan mendengar. Siapa yang melakukan? Bisa ditebak. Kalau dicermati, yang menghisap Lisong adalah para petinggi kita yang membaca keadaan sebuah Negeri: Menghisap sebatang
lisong/ melihat Indonesia Raya/ mendengar 130 juta rakyat. Lalu ada kata
‘cukong’ yang mewakili segala yang tidak beres: korupsi, penyelewengan, tindak
penindasan, atau praktek dehumanisasi haram yang lain; dua tiga cukong dengan sehina-hinanya, melakukan kesenangannya di
atas kaum-kaum yang ‘kecil’: mengangkang/
berak di atas kepala mereka.
Bait kedua: tentang waktu. Tergambar jelas di suasana
pagi: Matahari terbit/ fajar tiba.
Barangkali penyair berangkat dari jejaknya memandang anak-anak yang seharusnya
sekolah, malah bekerja paksa: mengamen atau mengemis. Mungkin juga bekerja
serabutan seperti buruh pendirian rumah yang tak layak, karena diupah semau gue. Atau yang paling buruk: putus
sekolah. Ah, nak. Seharusnya kau sedang duduk di bangku-bangku kayu. Dan
mendengarkan pendidik memanusiakanmu di pagi yang hangat. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/ tanpa pendidikan.
Bait ketiga: sasaran pertanyaan. Aku bertanya/ tetapi pertanyaan-pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan
yang mecet. Penyair menekankan kalau sajaknya berisi pesan pertanyaan dari
rakyat. Sasaran pertanyaan kiranya meliputi para wakil rakyat. Tapi para
petinggi kita sungguh kolot: tak acuh. Bahkan, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa juga apatis terhadap beragam persoalan
yang melanda bangsa. Ironi. Dan
papantulis-papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Bait keempat: ratapan masa depan. Kita kembali dihadapkan
pada makna yang sama di bait kedua: anak-anak pekerja itu. Bagaimana penuturan
Rendra menatap masa depan mereka. Dengan melihat pendidikan mereka yang
terpuruk: meninggalkan kelas-kelas di mana segudang ilmu terdapat di situ. Apa
yang mereka lihat di masa depannya? Ah, bodoh. Pertanyaan yang tak pantas
dijawab. Seharusnya, ratakanlah pendidikan. Bukan meratakan kasus suap yang
selalu tersorot lampu jalanan. Delapan
juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa
pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya.
Bait kelima: penglihatan penyair, juga waktu. Kalau
dilihat baik-baik, baris-barisnya persis seperti pada bait pertama. Modelnya
satu ragam. Pemaknaannya tentang situasi: kandungan bersih udara yang terlanjur
berdegradasi kotor. Menghisap udara/ yang
disemprot dedorant. Sepertinya, siang hari lebih banyak menyimpan debu dan
asap yang jahat bagi paru-paru manusia. Dari sana, penyair kasihan menghirup
beragam bau sampah jalanan; ibaratnya. Seperti mahasiswa yang terpaku pada
dosen. Akibatnya, pikiran dipersempit cakupan ilmunya. Yang terjadi
selanjutnya: Fresh Graduate yang
meratap kelulusan paksa; yang hanya ingin niat bergelar sarjana. Aku melihat sarjana-sarjana menganggur/
berpeluh di jalan raya. Selain mahasiswa, Rendra menempatkan orang-orang
yang selalu ingin dibayar, tapi malas dalam kerjanya: aku melihat wanita-wanita bunting/ antri uang pensiunan.
Bait keenam: yang melakukan. Merujuk kepada kisah di bait
pertama: kalau teknokrat sedang senyum-senyum santainya di langit dan cuek
melihat kondisi rakyat yang buruk. Dan di
langit/ para teknokrat berkata:
Bait ketujuh: sindiran. Teknokrat bukan semata yang
dielu-elukan kesalahannya, juga bangsa kita sendiri yang harusnya sadar. Sadar
pada pernyataan kelam yang dicibir Rendra. Kalau bangsa kita masih awam
pikirannya: tak mau berbenah diri, lalu gaptek;
atau tak mau melek soal perkembangan iptek. Diibaratkan: guru-guru kita yang
masih terjerat sistem pada pengajarannya. Mereka malas kreatif. Bahwa bangsa kita adalah malas/ bahwa bangsa
mesti dibangun/ mesti diup-grade/ disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.
Bait kedelapan: pencitraan. Sepertinya ini waktu saat
kumpulan burung camar beterbangan. Gunung-gunung
menjulang/ langit pesta warna di dalam senja kala. Pembaca sajak atau ‘yang
membacakan’ diajak mendangak ke atas: lebih melotot kepada persoalan kita.
Kondisi kekinian yang selalu melukai sejarah, kalau sejarah tahu. Ah, pahlawan
kita selalu menangis acap kali perang terus didendangkan, padahal status adalah
merdeka. Kita diajak lebih dekat. Lebih dekat dari langkah seorang wartawan.
Sekali lagi. Dan aku melihat/ protes yang
terpendam/ terhimpit di bawah tilam.
Bait kesembilan: pertanyaan kembali. Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku. Menjauh dari wakil rakyat, kita
melangkah ke lingkungan para seniman. Seorang Rendra yang seniman: sastrawan
ulung sekalipun, dengan beraninya menyindir penyair-penyair yang selalu
bersyair tentang keindahan. Padahal keburukan sepatutnya baik untuk dicatat.
Padahal di sekitar, beragam persoalan membuntutinya. Ah, Rendra ingin merobek
pikirannya. Ah, bodohlah penyair yang masa bodoh itu: membentur jidat penyair-penyair salon/ yang bersajak tentang anggur dan
rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya. Serta
dikorelasikan lagi dengan si pekerja cilik yang ditokohkan Rendra. Ah, mereka
lagi. Yang selalu dibiarkan terlantar: dan
delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/ termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bait kesepuluh: harapan. Rendra nampak pesimis: bunga-bunga bangsa tahun depan/
berkunang-kunang pandang matanya. Kita yang masih menatap masa depan, akan ke
mana pada akhirnya? Itu yang dipersoalkan oleh Rendra. Kalau banyak berita
kecewa di surat kabar, tak membuka kemungkinan bangsa akan maju. Apa yang mesti
diharapkan? Yang belum terjawab adalah pekerjaan rumah bagi Negara, juga kita.
Tuntunlah mereka untuk membalikkan peradaban yang usang. Mereka cikal-bakal
nakhoda kapal kita: Indonesia. Jangan sampai karam. Berjuta-juta harapan ibu dan bapak/ menjadi gebalau suara yang kacau/
menjadi karang di bawah muka samudra.
Bait kesebelas: sepenuhnya ingin membukakan otak-otak
manusia yang dangkal. Pekalah! Bagi yang selalu akan menjadi buruh, bukan guru.
Kita harus sadar, kalau kita masih tertidur di bawah pangkuan atasan. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus
asing/ diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti
merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/
mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata.
Bait kedua belas: menegaskan sajaknya. Inilah sajakku/ pamflet masa darurat.
Sekali lagi, bukalah mata bagi yang apatis terhadap keadaan yang ganjil. Biar
seniman yang hidup sebebas-bebasnya sekalipun. Seni tak berarti seni bila buta
akan permasalahan. Apakah artinya
kesenian/ bila terpisah dari derita lingkungan. Sekali lagi, pekalah! Apakah artinya berpikir/ bila terpisah dari
masalah kehidupan.
Bait ketiga belas: yang ingin ditujukan oleh
pertanyaan-pertanyaan lantang. Kepadamu
aku bertanya. Setidaknya, semua harus paham akan jawaban yang hendak
dijawab. Meski terlambat, karena kritik pedas sudah menjamur.
0 komentar:
Posting Komentar